WARTASINTANG : Bupati Sintang, Jarot Winarno menegaskan tidak akan ada diskriminasi terhadap peladang dan tetap menghargai kearifan lokal di kabupaten Sintang.
Hal tersebut disampaikan Bupati Sintang saat dirinya masuk kerja dihari pertama usai dirinya dilantik sebagai Bupati Sintang bersama Wakil Bupati Sintang, Sudiyanto beberapa waktu lalu.
Menurutnya, pengertian peladang adalah orang yang bercocok tanam dengan cara membakar dengan jumlah yang terbatas dan terkendali untuk komoditas lokal.
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Hak-hak tradisional masyarakat adat sebagaimana disebut di dalam konstitusi yang hingga kini tetap hidup dan berlangsung, salah satu di antaranya membuka ladang dengan cara tradisional yakni membakar dengan jumlah yang terbatas dan terkendali untuk komoditas lokal," ujarnya.
Dirinya menekankan, yang boleh membakar ladang adalah untuk tanam padi plus sayur-mayur dan bukan konvensional. Aturan tersebut jelas berbeda jika dilakukan oleh korporasi.
"Kalau korporasi melakukan pembakaran lahan, tangkap saja," tegasnya.
Bupati Sintang juga mengungkapkan dari luas hutan dikabupaten Sintang sebesar 850 ribu hektar, 65 ribunya berada dikawasan HPL yang kata Bupati akan tetap dijaga
Masih segar di ingatan masyarakat Kabupaten Sintang kasus kriminalisasi enam peladang di kabupaten Sintang yang menimbulkan aksi solidaritas masyarakat adat Dayak Kabupaten Sintang.
Keenam orang tersebut ditangkap di bulan November 2019. Mereka adalah Enam peladang yakni, Dugles, Boanergis, Dedi Kurniawan, Magan, Agustinus, dan Antonius yang dikenakan dakwaan membakar lahan.
Namun akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sintang, Kalimantan Barat memvonis bebas enam peladang yang didakwa melakukan pembakaran hutan dan lahan. Enam peladang divonis tidak bersalah dan bebas dari segala tuntutan, pada Senin (9/3/2020). (*)