Demi Sesuap Nasi dan Supaya Tetap Bisa Sekolah, Siswa Miskin dan Piatu Keturunan Tionghoa di Pesantren Gaza ini Harus Berjualan Cilok Keliling Demi Kebutuhan Hidup


WARTASINTANG.COM -  Keturunan Tionghoa identik dengan hidup enak dan kaya raya, itulah pandangan masyarakat pada umumnya. Padahal, di luar sana ada banyak orang Tionghoa yang senasib dengan Sopan Sopyan, siswa miskin dan piatu keturunan Tionghoa yang harus berjualan cilok keliling demi kebutuhan hidup.

Sopan Sopyan, seorang siswa miskin dan piatu keturunan Tionghoa di Kabupaten Tasikmalaya, berjualan cilok demi menghidup dirinya.

Siswa kelas X atau kelas 1 SMA Gaza ini menjajakan cilok makanan khas Sunda ini berkeliling di Kampung Babakan, Desa Pusparaja, Kecamatan Cigalotang, Kabupaten Tasikmalaya.

Aksi remaja berjualan cilok ini diposting oleh pendiri sekaligus ketua Yayasan SMA Gaza, Iim Imanulloh melalui akun Facebook miliknya. Sopan terlihat berjualan cilok pada Minggu (27/8/2017).

Dihubungi Kompas.com via sambungan telepon, Iim menjelaskan, Sopan Sopyan berasal dari keluarga miskin. Ayahnya berasal dari Garut, sedangkan ibunya dari Bekasi. Ibunya merupakan warga keturunan Tionghoa dan sudah meninggal.

"Ibunya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Lalu ayahnya yang bekerja serabutan menitipkan anaknya ke kami. Ayahnya memang kurang beruntung secara ekonomi," ujar Iim, Senin (28/8/2017).

Menurut Iim, di SMA Gaza, selain bersekolah, dia juga dididik pendidikan agama di pesantren Gaza dan keterampilan hidup. Salah satu pendidikan keterampilan hidup adalah berjualan. Kebetulan, Sopan sendiri terlihat punya bakat berdagang.

"Mungkin ada gen dari ibunya yang Tionghoa. Dia pandai berjualan dan mampu menarik minat pembeli walau sekadar cilok," katanya.

Awalnya, Iim memberi pinjam Sopan uang untuk modal usaha sebesar Rp 50.000. Sopan kemudian menggunakan uang itu untuk membuat cilok yang berbahan tepung singkong dengan bumbu kacang.

Dia kemudian menjajakan sendiri ciloknya keliling kampung. Dia pun tanpa canggung dan malu untuk berjualan cilok demi memenuhi kehidupan sehari-hari selama bersekolah.

"Dia (Sopan) bilang buat apa malu. 'Saya mah tidak malu dan nggak ada gengsi berjualan cilok karena halal'," kata Iim menirukan ucapan Sopan.

Dari hasil berjualan cilok, Sopan mampu menghasilkan uang Rp 162.000. Jumlah uang itu kemudian dipotong untuk "pinjaman" modal sebesar Rp 50.000. Jadi Sopan mengantongi untung Rp 112.000.

Kata Iim, sebenarnya, uang untuk modal Rp 50.000 itu bukan pinjaman, tetapi diberikan. Namun demi mendidik mandiri, uang Rp 50.000 tetap dikembalikan oleh Sopan.

"Nah, yang labanya itu Rp 112.000 sebagian dipakai dia untuk modal berjualan cilok lagi. Jadi akhirnya dia bisa mandiri berjualan," kata Iim.

SMA gratis untuk warga miskin

Sekolah menengah atas (SMA) Gaza, tempat Sopan belajar, adalah lembaga pendidikan swasta yang menampung anak yang kurang beruntung secara ekonomi. Iim, sang pendiri SMA Gaza, mengatakan, sekolah tersebut didirikan oleh LSM Gaza yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan.

Meurut Iim, SMA Gaza sama sekali tidak memungut biaya sepeser pun kepada anak didiknya alias gratis. Mulai dari iuran, pakaian seragam dan alat tulis diberikan secara gratis.

"Sekolah kami murni 100 persen sosial," tandas Iim.

Lanjut Iim, SMA Gaza menerapkan konsep pendidikan bording school. Siswa tinggal di pondok pesantren tak jauh dari sekolah. Pagi hingga siang, siswa diberi pendidikan umum sebagaimana sekolah lain. Lalu siang sampai sore, anak-anak dilatih keterampilan hidup (life skill) seperti menjahit, otomotif dan beternak.

"Kemudian malam harinya belajar kitab kuning," kata Iim.

Ada pun pengajarnya adalah para relawan dan rekan aktivis. Sebagian dari aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan sebagian lagi dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktivis dari organisasi berbeda itu bahu-bahu mendidik anak-anak dari keluarga tidak mampu.

"Jadi kami cenderung moderat. Tidak ada fanatisme. Anak-anak dididik pengetahuan agama yang moderat," tandas Iim.

Saat ini, SMA Gaza baru memiliki 4 ruangan. Tiga ruangan untuk belajar siswa dari kelas 1 sampai 3 yang masing-masing kelas menampung 25 orang. Satu ruangan lagi untuk guru.

"Sebenarnya ada dua ruangan. Hanya kami sekat dengan triplek untuk memisahkan kelas," katanya.

Menurut Iim, pihaknya membatasi jumlah siswa karena minimnya fasilitas. Oleh karena itu, dia mempersilakan jika ada dermawan yang bersedia memberi sumbangan.

"Bagi agnia (dermawan) yang bingung menyumbangkan uangnya, silakan datang ke sini. Setiap sumbangan yang diterima kami akan langsung umumkan. Kami akan transparan. Sumbangan apapun kami terima, baik uang, beras atau apa saja yang bermanfaat," kata Iim.

Sumber berita diambil dari kompas.com